MENGAKUI KESALAHAN
MENGAKUI KESALAHAN
Kejadian 3
Coba AMATI PERILAKU KERA saat ia mengalami LUKA di KAKINYA karena CABANG POHON.
KERA itu merasa CABANG POHON tersebut SENGAJA MELUKAINYA, karena itu KERA tersebut MENGAMUK dan MENENDANG-NENDANG POHON tersebut.
Tentu kita akan MENTERTAWAKAN KEBODOHAN KERA tersebut.
SALAH-SALAH SENDIRI kok MENYALAHKAN PIHAK LAIN.
Tapi APAKAH kita juga MENTERTAWAKAN DIRI SENDIRI saat kita, maaf, BERTINGKAH seperti KERA tersebut?
Jelas bahwa kita yang MEMUTUSKAN, tapi begitu KEPUTUSAN tersebut ternyata KEPUTUSAN yang KELIRU, kita MARAH dan MENYALAHKAN PIHAK LAIN.
Kita, misalnya, MENYALAHKAN "KEADAAN BISING" sehingga membuat kita MENGAMBIL KEPUTUSAN yang KELIRU.
Kaki TAK BISA BERDANSA, LANTAI DIPERSALAHKAN.
BURUK RUPA, CERMIN DIBELAH.
Demikianlah SIKAP orang yang TIDAK BERTANGGUNG JAWAB.
BUKANNYA MENYADARI KESALAHANNYA SENDIRI dan BERANI MENGAKUINYA, tapi ia malah MELEMPARKAN KESALAHAN tersebut kepada PIHAK LAIN.
Jika kita memiliki SIKAP seperti ini, maka kita TAK AKAN PERNAH menjadi PRIBADI yang DEWASA dan MATANG.
BAGAIMANA kita bisa melakukan PERBAIKAN jika kita TIDAK PERNAH MENGAKUI KESALAHAN SENDIRI?
Maka, LANGKAH AWAL untuk menjadi orang yang BERHASIL adalah MENGAMBIL SIKAP untuk BERTANGGUNG JAWAB atas DIRI SENDIRI, termasuk atas segala KEPUTUSAN yang kita BUAT.
Betapa TIDAK DEWASANYA Adam ketika ia MENYALAHKAN TUHAN karena MENEMPATKAN Hawa DI SISINYA.
Demikian juga Hawa yang TIDAK MENGAKUI KESALAHANNYA, tapi MELEMPARKAN KESALAHAN itu kepada ular yang memperdayanya.
Kalau SALAH, ya sudah DIAKUI saja.
Mau DISANGKAL seperti apapun, KENYATAANNYA SALAH TETAPLAH SALAH, bukan.
Ibarat NASI SUDAH jadi bubur.
Daripada MEMUSINGKAN BAGAIMANA MENGUBAH BUBUR menjadi NASI, bukankah LEBIH BAIK kita MENGAKUI bahwa kita telah SALAH memasak dan MENCOBA MEMBUAT BUBUR tersebut menjadi ENAK dengan MENAMBAHKAN potongan ayam, cakwe, potongan daun loncang, sehingga jadi BUBUR AYAM yang masih bisa kita NIKMATI?
Komentar
Posting Komentar